Apa Salahnya Menumpuk Harta


Sebagian besar orang mengatakan uang dan kenyamanan material bukan hal yang utama dalam kehidupan. Mereka memikirkan hal lain: Tuhan, kebahagiaan, kedamaian, cinta dan masih banyak lagi hal lain yang jauh lebih penting. Tetapi lihatlah bagaimana hidup dijalankan! Persis berkebalikan dengan apa yang mereka pikirkan.

Orang-orang sanggup mengurangi waktunya untuk bertemu dengan anaknya, mendengarkan kisahnya, tapi tak sanggup untuk mengurangi jam kerjanya, produktivitasnya. Mereka merasa membaca puisi dan memikirkan arti hidup adalah gaya hidup kaum pensiunan, tetapi dengan lahap menelan pelatihan-pelatihan motivasi yang memompa semangat mereka untuk meraup sebanyak mungkin keuntungan dan kekayaan dalam waktu sekejap.

Jika dihadapkan pada kontradiksi semacam itu, sebagian besar hanya bisa mengeluh: kita tak bisa hidup dengan makna saja, tapi kita butuh roti untuk menghidupi badan kita. Sederhana bukan? Kita perlu bekerja keras untuk memperoleh sesuap nasi. Hanya saja roti dan sesuap nasi gampang menggelembung menjadi besar dan bahkan bermetamorfosis menjadi keamanan material dan kenyamanan hidup yang tak dapat diduga batasnya. Setelah kenyang, kita memerlukan baju.

Tidak hanya baju yang cukup dengan ukuran badan kita, tetapi baju yang dipandang pantas, dan kemudian baju yang sanggup membuat orang berpikir bahwa kita adalah manusia yang sebenarnya, manusia sukses. Setelah baju lalu apa lagi kalau bukan rumah, kendaraan, dan uang dalam tabungan yang cukup sampai anak cucu kita, bukan hanya cukup untuk roti dan nasi, tetapi roti dan nasi yang sudah bermetamorfosis.

Tapi apa salahnya dengan pengejaran uang, penumpukan kekayaan? Jawabannya sederhana: bumi itu terbatas. Sumber dayanya nyaris habis. Hampir semua orang berpendidikan tahu tentang itu, tapi siapa yang paling banyak menghabiskan bumi?
Materialisme sebagai sistem nilai dijauhi tapi sebagai cara hidup, dipeluk dengan erat bahkan lebih mesra dan bernafsu ketimbang kekasih. Dualitas itu hanya menghasilkan rasa bersalah yang selalu menggugat kita.

Ketika rasa bersalah itu menguat dan tak sanggup lagi ditolak, kita tetap tak sanggup untuk menggunakan energinya untuk membalikkan arah kehidupan, dari kehidupan yang tereduksi dalam hitungan-hitungan keamanan, kenyamanan dan kebanggaan material menuju hidup itu sendiri. Hidup tanpa embel-embel angka. Rasa bersalah itu malahan menjadi beban, menjadi pening kepala, menjadi keasingan yang menghasilkan jarak antara diri kita dengan orang-orang yang kita cintai.

Beban-beban semacam itu seringkali malahan mendorong kita mematikan sistem dalam kepala kita yang selalu mengingatkan kita akan ada sesuatu yang keliru. Mematikan kemampuan kita berefleksi. Kita cenderung ingin mengatakan, ”ah well, whatever, never mind.”

Persis itu yang terjadi, kita menolak untuk memikirkan konsekuensi jangka panjang cara hidup kita, dan menjadi robot-robot mati yang digerakkan oleh sistem dunia yang bernama kapitalisme, nafsu untuk memupuk kekayaan. Karena berpikir tentangnya akan membuat kita pening kepala. Psikopat ada di sekitar kita bahkan telah menjadi diri kita, seseorang yang telah memarkir rasa bersalah dua blok jauhnya dari rumah kehidupan kita.

Mengapa kita masih merasa berkekurangan, meskipun gaya hidup kita jauh lebih baik dibanding gaya hidup kakek-nenek kita? Masalahnya adalah kompetisi, pembandingan sistem nilai yang kita telan ketika kita duduk di bangku sekolah.

Setiap pelajar bersaing satu sama lain untuk menjadi yang tebaik dalam hal apa saja, terutama hal-hal yang dianggap berharga. Coba simak kata berharga, kata itu kita pakai sebagai adjektif untuk segala sistem nilai yang kita peluk. Dari mana asal-usul kata itu jika bukan dari kamus perdagangan. Ekonomi rupa-rupanya telah juga merasuki cara kita berbahasa.

Kompetisi tak akan usai sepanjang masih ada satu orang kompetitor. Mungkin kita akan berhenti dari kerakusan kita setelah di dunia ini hanya tinggal diri kita seorang.

0 comments: (+add yours?)

Posting Komentar